postheadericon Silang Sengkarut Sejarah RMS

image Generasi yang lahir setelah pemberontakan bersenjata dan proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April 1950, mendapatkan informasi yang simpang siur. Bukan saja tentang kronologis kejadiannya, juga setting sosial dan iklim politik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional ketika itu. Jika dibiarkan, kesimpangsiuran ini akan bermuara pada terciptanya kontradiksi permanen untuk memancing konflik berkelanjutan, bahkan disintegrasi sosial, khususnya di kalangan masyarakat Maluku. Sejarah RMS perlu ditulis kembali sekalipun bisa memancing reaksi dari berbagai alur pemikiran maupun kepentingan.
Yang mengklaim diri sebagai kaum republikan militan akan menganggap hal ini sebagai upaya menghidupkan kembali semangat juang RMS. Sebaliknya, pendukung fanatik RMS bersikap was-was karena dengan terbukanya kedok mereka akan melemahkan barisan dan cita-cita ''Bangsa Maluku''. Sementara, lapisan intelektual berpandangan bahwa penulisan ulang dengan metode historiografi yang ilmiah akan banyak membantu. Bukan sekadar memahami sejarah, juga menjadi bahan untuk merumuskan solusi penyelesaian.
Salah Kaprah
Ada beberapa titik prinsipiil yang harus dilihat dalam upaya penulisan ulang tersebut. Pertama, tentang kebenaran maupun manipulasi fakta sejarah yang telah menimbulkan asumsi liar di tengah masyarakat. Kedua, mengenai aspek hukum dan legalitas dari gerakan separatisme yang digunakan. Ketiga, upaya menemukan aspek sentripetal untuk proses reintegrasi masyarakat. Timbulnya hasrat mendirikan negara sendiri yang bernama RMS ini selalu dikaitkan dengan mitos soliditas etnik Maluku.
Seakan-akan etnik Maluku tersebut bersumber dari nenek moyang yang satu di Nunusaku (pedalaman Pulau Seram). Padahal, interpretasi terhadap eksistensi dan migrasi dari Nunusaku juga sangat beragam. Dalam kenyataannya secara antropologi, sosiologis, maupun kultural, hampir setiap negeri (desa) di Maluku yang dalam literatur Belanda disebut dorps republiken (republik desa) memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda, satu dengan lainnya.
Hal itu juga bisa ditelusuri pada sumber-sumber kebudayaan seperti kapata (sastra bertutur), yang menceritakan asalusul setiap komunitas. Ketika kolonialisme datang dengan menerapkan prinsip devide et impera, lebih memperkuat jarak yang sudah tercipta. Hanya untuk kepentingan politik RMS sajalah kemudian etnik Maluku dicoba dipersatukan, tetapi sia-sia. Dominasi pemeluk salah satu agama dalam RMS membuat penganut agama lain bereaksi.
Begitu juga dominasi dan superioritas ''Orang Ambon'' menciptakan jarak dengan ''Orang Lain'' di Maluku, baik di daerah tenggara, lebih-lebih di utara (Richard Chauvel: 1990 dan Sam Pormes: 2004). Secara politik RMS juga tidak pernah berdaulat di Maluku, dilihat dari konstelasi partai yang memenangkan pemilihan anggota Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) di mana Dewan Maluku Selatan bergabung menjelang proklamasi RMS.
Partai Indonesia Merdeka (PIM) yang dipimpin EU Pupella seorang Kristen Nasionalis bersama Hamid bin Hamid yang Islam modernis memenangkan kursi di parlemen NIT mengalahkan Gabungan Sembilan Serangkai (GSS) maupun Persatuan Timur Besar (PTB) onderbouw RMS (Richard Z Leirisa: 1975). Argumentasi yang selalu digunakan RMS untuk membenarkan tindakan mereka melepaskan diri dari Republik Indonesia tersebut ialah RMS telah diakui Belanda dan PBB.
Sebaliknya, dikatakan bahwa Republik Indonesia adalah ilegal dan merampok Maluku ke dalam jajahannya. Gerakan RMS di Belanda pun masih menggunakan argumentasi klasik tersebut, seperti yang dilakukan dedengkot RMS J H Werinussa, John Watilette, dan Daan Sahalessy (radio Nederland dan berbagai situs: 2007).Padahal, jika saja Belanda dan PBB telah mengakui keberadaan RMS dan Republik Indonesia adalah ilegal, tentu tidak perlu menunggu waktu yang begini lama untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Mulai Retak
Isu provokatif seperti ini memang dengan mudah diserap lapisan akar rumput RMS di Maluku. Sebagaimana ''penari Cakalele'' berpendidikan rendah yang menyambut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada HUT Harganas, 29 Juni 2007. Walhasil, yang terlihat ialah apa yang mereka perjuangkan sekadar menjadi alasan untuk mempertahankan ketokohan di kalangan masyarakat Maluku di Belanda. Di tengah kenyataan bahwa Presiden RMS Tutuhatunewa sudah memasuki masa uzur dan organisasi RMS terpecah belah dalam banyak faksi yang tidak sependapat.
Dengan demikian, sangat tidak masuk akal kalau RMS dikatakan mendapat dukungan luas di kalangan masyarakat Maluku. Dari paparan selintas atas silang sengkarut sejarah RMS tersebut, sebenarnya bisa ditarik kesimpulan bahwa dukungan separatisme di Maluku tidak sebanding dengan kekuatan nasionalisme Indonesia yang ada pada orang Maluku sendiri. Hanya karena publikasi yang sangat gencar dari gerakan RMS, terutama di era teknologi informasi yang mendunia, terbentuk opini seakan-akan RMS adalah ancaman serius yang membuat kita pontang-panting untuk menghadangnya. (*)
THAMRIN ELY
Anggota Dewan Pembina Institut Perdamaian Indonesia (IPI) (//mbs)

0 comments:

I Love Indonesia

Labels

Followers